UIN Jakarta - HMJ Pendidikn Agama Islam dan PKM Bunga Rampai bekerja sama dengan Islam Nusantara Center (INC) dan Kemuning Muslim Center, dalam menghadirkan seminar keislaman bertema "Membaca Politik Ulama Nusantara: Arsip-Arsip Turats yang Terlupakan."
Ada dua pembicara dalam seminar keislaman ini. Yang pertama adalah A. Ginajar Sya'ban, dirut INC, dan penulis buku Mahakarya Islam Nusantara, dan yang kedua adalah Zainul Milal Bizawie, pengiat Islam Nusantara, penulis Masterpiece Islam Nusantara.
Seminar ini membahas warisan ulama-ulama Nusantara terdahulu, melihat banyaknya para ulama yang berbeda-beda dalam pandangan politik di masa sekarang.
sebagaimana di tulis oleh Jaringansantri.com - Ginanjar Sya’ban memulai dengan menampilkan tiga manuskrip yang masing-masing dari tulisan Pangeran Diponegoro, Surat yang di tulis KH Wahab Chasbullah dalam Komite Hijaz ditujukan untuk Raja Arab dan surat balasan yang di tulis sendiri oleh Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari.
Surat yang ditulis Kiai Wahab, kata Ginanjar, ditujukan agar tetap diizinkannya Mazhab 4 di Mekah dan meminta agar tempat bersejarah itu jangan dihanjurkan. Kemudian raja Saudi membalas surat tersebut. “Ini pentingnya para mahasiswa mengkaji arsip-arsip ulama Nusantara,” katanya.
Sementara itu, Zainul Milal Bizawie menyorot keadaan Islam saat ini. Saa ini Islam di dunia, ditampilkan seolah-olah hanya mereka yang melakukan aksi terorisme dan suka kekerasan. Padahal ada masyarakat dengan cara keberislaman yang sejuk seperti Islam di Indonesia. “Tapi sayang, seolah tidak terlihat,” katanya.
Menurut Gus Milal, Penulisan sejarah maenstream Islam kurang menyebutkan sejarah Islam di Nusantara, Indonesia. “Padahal Islam di sini salah satu yang tersebar. Keislaman di Nusantara adalah yang akrab dengan budaya, moderat dan toleran,” kata sejarawan santri ini.
Ia menyebutkan bahwa lagu Shubbanul Wathan, merupakan penggambaran politik Ulama Nusantara, yatu politik kebangsaan, menanamkan kecintaan kepada tanah air. “Inilah politik Ulama-ulama kita,” katanya.
“Tanah air menjadi pijakan utama, sikap politik yang menjadi landasan utama. Sehingga menjadi ruh yang puncaknya keluar fatwa jihad 22 Oktober dan 10 November. Karena ketika kolonial menjajah, kita tidak bisa beribadah dengan tenang,” tambahnya.
“Oleh karena itu, kita perlu mengkaji turast. Agar dunia tahu, dan merujuk ke sini. Bahwa kita punya keislaman yang sanadnya menyambung ke Rasulullah” tandasnya.
Menyikapi hal ini, Ginanjar kembali merespon bahwa Di Indonesia, Islam bisa membantu memperbaiki citra Islam di Timur Tengah. Dengan berbagai cara, bisa dengan diplomasi, kebijakan politik maupun melalui gerakan keilmuan. “Jadi kita mengkaji turast ulama Nusantara itu bukan untuk menyelisihi saudara muslim kita, tapi sebaliknya saling melengkapi,” tuturnya.
“Bagaimana Muslim Indonesia juga terlibat dalam perkembangan peradaban Islam dunia. Dengan mengangkat khazanah keilmuan miliknya. Setidaknya kita bisa ikut andil dalam menyelesaikan kemanusiaan di dunia, khususnya saudara muslim kita di Timur Tengah,” pungkasnya. (Zainul Wafa)
Poin terpenting yang bisa digaris bawahi adalah, Islam Nusantara bukan menjadi aliran politik, tetapi suatu istilah akademis yang berasal dari ulama-ulama Nusantara.
Demiian pembahasan seminar keislaman yang diadakan di gedung FITK ruang teater lt. 1 Prof. Dr. Zakiyah Dzakiyah daradjat yang menyungsung tema “Membaca Politik Ulama Nusantara : Arsip-arsip Turats yang Terlupakan.” Hadir sebagai pembicaranya adalah Ah. Ginanjar Sya’ban (Direktur INC/ Penulis Mahakarya Islam Nusantara) dan Zainul Milal Bizawie (Penulis buku Masterpiece Islam Nusantara).
Demiian pembahasan seminar keislaman yang diadakan di gedung FITK ruang teater lt. 1 Prof. Dr. Zakiyah Dzakiyah daradjat yang menyungsung tema “Membaca Politik Ulama Nusantara : Arsip-arsip Turats yang Terlupakan.” Hadir sebagai pembicaranya adalah Ah. Ginanjar Sya’ban (Direktur INC/ Penulis Mahakarya Islam Nusantara) dan Zainul Milal Bizawie (Penulis buku Masterpiece Islam Nusantara).


Komentar
Posting Komentar